Medan - Anggota DPD RI asal Sumatera Utara (Sumut) Dedi Iskandar Batubara menyoroti soal kondisi jalan umum di sekitaran perkebunan, khususnya kelapa sawit, yang banyak rusak parah. Dedi pun menyinggung soal anggaran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38/2023 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sawit.
"Beberapa kali melintasi jalan yang berada di sekitar kawasan perkebunan, baik milik negara maupun swasta, kita mendapati bahwa kondisinya mengalami rusak parah. Padahal jalan itu menghubungkan satu desa dengan desa lain, atau antar kecamatan hingga antar kabupaten di Sumut," kata Dedi Iskandar, Selasa (30/1/2024).
Dedi mengatakan Sumut menjadi salah satu provinsi dengan luas lahan sawit terbesar di Indonesia. Menurutnya, kondisi jalan di kawasan perkebunan itu sangat parah dan menghambat mobilitas masyarakat.
"Beberapa kali melintasi jalan yang berada di sekitar kawasan perkebunan, baik milik negara maupun swasta, kita mendapati bahwa kondisinya mengalami rusak parah. Terakhir kali pekan lalu, ada di Kecamatan Silau kahean, Kabupaten Simalungun, yang terhubung dengan Kabupaten Serdang Bedagai," sebutnya.
Untuk itu, Ketua PW Al Washliyah Sumut itu mendorong pemerintah memperhatikan hal itu. Dedi meminta anggaran sebagaimana tercantum dalam PP Nomor 38/2023 tentang DBH Perkebunan Sawit, dapat dimaksimalkan.
Dalam aturan itu, kata Dedi, 20 persen DBH diberikan kepada Pemerintah Provinsi, 60 persen kepada Pemerintah Kabupaten dan 20 persen untuk kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil sawit.
"Sebenarnya PP ini terbilang baru, diundangkan dan berlaku efektif 24 Juli 2023. Tentu harus dilaksanakan secara maksimal. Soal kemudian akan ada evaluasi apakah ini efektif atau tidak itu belakangan. Tetapi memang yang menjadi masalah sebenarnya, jumlah besaran yang diberikan pemerintah dalam bentuk transfer ke daerah oleh pemerintah pusat," jelasnya.
Dedi menyebut provinsi Sumut terdapat lahan perkebunan kelapa sawit yang luas, sehingga bisa mendapatkan DBH yang lebih besar untuk bisa menyelesaikan infrastruktur jalan, sebagai indikator penentuan besaran rincian alokasi. Termasuk juga produktivitas lahan yang ditetapkan oleh menteri.
"Saya juga melihat bahwa perlu ada komitmen antara PTPN dan pemerintah daerah termasuk provinsi untuk sama-sama memikirkan. Karena yang menggunakan jalan itukan bukan hanya pihak perkebunan, tetapi masyarakat yang tinggal di wilayah seputar perkebunan yang menggunakan jalan itu sebagai akses mobilitas mereka membawa hasil bumi/pertanian dari kampungnya," ujarnya.
Calon DPD RI Dapil Sumut itu mengungkapkan bahwa banyak kendaraan yang melewati batas muatan yang melintasi jalan di sekitaran perkebunan. Akibatnya jalan yang sudah diaspal menjadi rusak karena beban berlebihan.
Dia pun mengibaratkan kerusakan jalan yang mengganggu mobilitas masyarakat, seperti pepatah 'Tikus Mati di Lumbung Padi'. Maknanya, hasil perkebunan sawit oleh para pemilik, baik swasta maupun negara, mendapatkan keuntungan besar. Sementara rakyat yang hidup di sekitar perkebunan mendapatkan akses jalan dengan kondisi yang tidak baik.
"Karenanya saya pikir, perlu dikoordinasikan secara komprehensif antara pihak perkebunan dengan pemerintah daerah agar akses jalan yang digunakan oleh orang banyak, termasuk perusahaan perkebunan, itu dalam kondisi yang laik. Kan lucu, misalnya jalur yang harusnya bisa kita tempuh dengan waktu singkat, menjadi lama karena jalannya rusak parah," pungkasnya.